a. Judul : Jakrta Kota Berpunya
b.Penulis : Iksande UBB Press Humas
c.Penerbit : website Universitas Bangka Belitung
d.Tanggal : 30 september 2010
e. Tema : Indonesia dan Budaya
SINOPSIS
Dapat diperkirakan jakarta pada tahun 2014 akan lumpuh, ini merupakan antiklimaks ketika materialisma yang menjadi roh nya, bahwa bahagia diukur dari seberapa punya,Dan ketika hujan turun, masalah timbul yakni macet, banjir. Jakarta kota tua yang di banggakan namun seolah kita lupa bahwa kota ini telah tua, yang idealnya bagi orang-orang kampung tua berati tidak pantas lagi memikul beban berat, seperti banyaknya penduduk,banyaknya kendaraan hinnga ruang gerak pun menjadi lebih sempit. yang membuat warganya tampak stres dan lusuh. Namun ini maslah pengaturanya saja tentang kota ini,semuanya tinggal menanti waktu, tunggu tanggal mainnya. Ketika masalah utama itu, banjir dan macet mampu diselesaikan. Semuanya akan lancar dan nyaman.
Namun, disinilah letak salahnya. Ketika bicara Indonesia, kita bukan berbicara tentang Jakarta saja, atau Jawa saja. Bukan tentang menyelesaikan banjir dan macet, selepas itu aman. Bukan mengenai itu, ini tentang menghapus ego, identitas sentralis. Bukan tentang orang sini, namun orang sana dan lainnya. Bukan berhitung berpunya dan berapa. Tapi kehendak memberi dan berbagi.
KEUNGGULAN
Pada artikel ini menjelaskan informasi lain tentang kota jakarta yang di kendalikan oleh ego pemimpin dan masyarakatnya, dan juga menyinggung suatu sistem yang salah pada kota ini, dari artikel ini pula kita sebagai warga jakarta,dapat mulai membenahi diri untuk membuat kota jakarta menjadi lebih baik di masa depan,karena tanggung atas kota ini bukan hanya terletak pada pemimpinya saja namun kita juga para penghuninya.
KEKURANGAN
Namun disayangkan artikel ini kurang membahas lebih dalam lagi tentang akar permasalahan yang terjadi pada kota jakarta, dan maslah-maslah yang memang sangat sering terjadi di jakarta bukan hanya kemacetan dan banjir saja, kemacetan dan banjir merupakan dampak dari maslah-maslah kecil yang sering terjadi di jakarta, seperti kemacetan yang terjadi karena banyaknya angkutan umun yang berhenti sembarangan dan para pengendara yang tidak sabaran sehingga melanggar rambu-rambu lalu lintas, sementara masalah banjir di karenakan ulah warganya sendiri yang tidak sadar akan kebersihan selain karena memang lahan hijau yang di komersilkan oleh pihak-pihak tertentu.
PENDAPAT AKHIR
Artikel ini sudah cukup bagus dan menarik untuk di baca namun untuk lebih menarik lagi harunya pada artikel ini juga dilampirkan gambar tentang ke kisruhan kota jakarta agar lebih bisa mengambarkan secara lebih tentang kota ini
LAMPIRAN
Jakarta Kota Berpunya |
Pada 2014 nanti, Jakarta diperkirakan lumpuh. Ini seperti anti klimaks dari ego manusia. Ketika materialism adalah ruh dari segalanya. Bahwa bahagia diukur dari seberapa punya. Bagaimana deretan kendaraan ini cuma seroda berjarak, mengular dari ujung ke ujung. Dan seperti pohon tua, ia tampak limbung dimakan asap polutan yang tak pernah henti. Ketika hujan sehari dua, macet, sebuah kata yang harusnya jarang tiba-tiba menjadi dekat dengan makan dan minum. Sebanyak dua juta manusia yang berbondong-bondong di sore hari, berjejalan dalam bus trans, metro mini, bus patas, bajai, ojek, kereta api, atau taxi dirindui kasur dan bantal di rumah seperti musafir yang kangen gubuk di belahan sana. Tertunduk dengan wajah-wajah lusuh, kusam, seolah dibebankan utang tak berperi. Inilah Jakarta, selama lima hari. Saya membayangkan hidup bagi orang disini, seperti tak ubahnya roda-roda itu. Merangsek dan macet ketika banjir melanda, dan memenuhi badan jalan. Susah bergerak, dihimpit dan dikerdilkan oleh sebenarnya, ego sendiri. Lalu kembali kerumah, tidur lelap mencari udara di langit-langit kamar, Hidup adalah mesin itu sendiri. Jakarta, kota tua yang dibanggakan. Namun ini seolah serasa menutup mata pada kenyataan, bahwa kota ini tua. Usia, yang bagi orang di kampong-kampung, tak pantas lagi meminggul kayu dan mendayung sampan. Bukan karena malas, namun begitulah hukum alam. Ketika usia, bukan bermakna tak produktif, namun bijaksana dan lebih arif. Ketika produktif, lebih diartikan sebagai pengayom bukan pelaku. Pendidik bukan murid. Namun, ini masalah pengaturan saja, kata orang disini. Ketika SBY mewacanakan ibu kota pindah ke daerah lain, karenanya SBY lalu dianggap terlalu terburu-buru dan seolah berpaling dari masalah. Kata orang sini, semuanya tinggal menanti waktu, tunggu tanggal mainnya. Ketika masalah utama itu, banjir dan macet mampu diselesaikan. Semuanya akan lancar dan nyaman. Namun, disinilah letak salahnya. Ketika bicara Indonesia, kita bukan berbicara tentang Jakarta saja, atau Jawa saja. Bukan tentang menyelesaikan banjir dan macet, selepas itu aman. Bukan mengenai itu, ini tentang menghapus ego, identitas sentralis. Bukan tentang orang sini, namun orang sana dan lainnya. Bukan berhitung berpunya dan berapa. Tapi kehendak memberi dan berbagi. Keberpunyaan kadang melahirkan keakuan mutlak. Muaranya bisa menjadi fanatis yang tak berkesudahan. Saking berpunya itu, kadang juga bikin serakah dan tamak. Tak suka bila dipunya orang lain. Rugi bila orang lain berpunya. Jadi pantas, bila berbondong-bondong wajah letih itu kembali di pagi hari yang basah, sedari pagi selepas Subuh. Mereka merangsek masuk, merekalah bus dan kereta api itu. Terwakilkan dengan asap dan roda-roda yang berdecit, dengan suara menderu-deru di pinggiran kota. Masuk dengan bayangan sunyi sendiri. Jakarta mengeluh, kembali memperdengarkan rintihan saban hari. Semakin berpunya ia, maka semakin besar pula wajah-wajah semu itu mendekatkan diri. Demi Jakarta. Kota segala berpunya. Dan kami, manusia di pulau sana, beratap rumbia, masih membakar ubi jalar sambil bernyanyi riang di samar malam. Masih menatap bintang-bintang. Masih mencium wangi bunga kayu gabus belakang rumah. Kami juga tak perlu 3.500 untuk bahagia.*** By : Iksander UBB Press Humas |
Dikirim oleh Admin Tanggal 2010-09-30 Jam 11:55:00 |
0 komentar:
Posting Komentar